Adalah sebuah sunnatullah, selama hidup di dunia Allah subhanahu wa ta’ala akan mempertemukan kita dengan berbagai macam sifat manusia dan menakdirkan kita untuk melalui begitu banyak peristiwa. Dipergilirkan kepada kita keadaan suka dan duka, tangis dan tawa, begitu terus hingga kita bertemu dengan kebahagiaan sesungguhnya yang tidak akan pernah berakhir, kelak di JannahNya.. Insya Allah.
Dalam kondisi sempit, manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti emosi yang meluap, menyalahkan pihak yang dia rasa harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpanya, bahkan tanpa segan menggugat Allah dengan kalimat, “Apa kesalahanku hingga Kau timpakan musibah yang begitu berat?”.
Sebenarnya manusiawi, ketika menghadapi peristiwa yang pelik sesekali kita berpotensi untuk terkuasai oleh emosi, (karena Allah memang memberikan kita modal emosi tersebut untuk menjalani hidup agar semakin berseni.) Namun perlu kita fahami, bahwa semua yang Allah izinkan hadir di hidup ini tidak ada yang abadi. Kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya, sama seperti masa-masa sulit, Allah tidak akan membiarkan kita menanggung beban terlalu lama. Akan datang masa dimana pengorbanan kita atas kesabaran tanpa batas, dibalas Allah dengan pahala yang tak terbatas. (QS. Az Zumar : 10). Dan jika dosa bisa ditampakkan dengan kasat mata, maka kita sebagai hamba akan tertunduk penuh malu, karena kalimat gugatan diatas sangat tak pantas terucap dari lisan hamba yang hina kepada Rabb yang tanpa cela. Tak terhitung nikmat yang telah Allah berikan, namun saat Allah mampirkan ujian, kita meresponnya dengan sikap keras dan pembangkangan.
Saya izin menyambungkan tulisan ini dengan kondisi penduduk di sebuah tempat yang diberkahi, yang saat ini dan selamanya akan selalu menjadi sorotan umat sedunia karena keteguhan iman mereka; Rakyat Gaza, Palestina.
Kalau dibanding-bandingkan, orang yang paling dekat dengan keputusasaan dan depresi semestinya adalah mereka, Tak terhitung sudah berapa banyak jiwa yang syahid dan hilang tanpa pernah ditemukan kembali, tak terbayangkan tidur tanpa atap dan alas yang layak karena rumah tempat bernaung telah hancur tak bersisa, tak terlukis perihnya hidup sebatang kara karena semua anggota keluarga telah tercerai berai entah dimana, beresonansi semilyar kenangan namun yang dikenang telah tiada, kurangnya air bersih untuk bersuci dan menghilangkan dahaga, ketiadaan makanan untuk mengganjal rasa lapar yang menggigit, serta sedikitnya tempat yang aman dari teror kera-kera zionis yang tidak pernah kenyang.
Terabadikan dalam sebuah video pendek, seekor anak anjing berlindung di dalam perut bangkai keledai yang sudah mengering. Mungkin anak anjing itu merasa, disitulah tempat ternyaman untuknya. Hal yang tidak akan ditemui di keadaan normal atau bahkan di belahan dunia lainnya. Sungguh teramat miris dan menyayat hati kita.
Setiap hari, berbagai macam kesulitan dihadapi penduduk Gaza dan sekitarnya, Namun ajaibnya, mereka masih memancarkan rona ketegaran yang sangat kuat. Telah kita lihat sendiri pada beberapa video pendek yang bertebaran di media sosial, seorang anak laki-laki tertawa teramat geli padahal baru saja kehabisan lauk di penampungan. Pasti perutnya teramat lapar, entah kapan ia akan bisa kembali pada kondisi mampu memilih apa yang ingin ia makan. Baginya saat ini kelezatan makanan adalah sebuah kemewahan yang tidak dijadikan pilihan, yang penting hari ini ia menemukan makanan, karena sedari kemarin perutnya tak mencerna apapun selain air putih yang kebersihannya pun tak memadai.
Di tengah kecamuk perang, terabadikan pada kamera-kamera wartawan, tatapan tegar khas anak-anak Gaza yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan lugas dan berwibawa, padahal ayah-ibunya telah tiada. Terpotret ketenangan seorang kakek yang memeluk jenazah cucunya yang jelita, terekam dengan sangat jelas kalimat seorang ibu yang berkata, “Ya Rabb, telah Kau ambil anak-anak kami, suami kami, saudara kami,harta benda kami, maka ambillah semua yang kau mau ya Rabb, apapun yang membuat Engkau ridha terhadap kami.”, Ada juga seorang ibu dengan senyumnya yang bersahaja memandikan anak-anaknya di atas puing-puing rumahnya yang sudah rata dengan tanah. Sang anak tertawa begitu lepas, merasakan guyuran dari air hujan yang ditampung ibunya penuh cinta. Padahal tempat mereka bernaung telah luluh lantak, namun senyum mereka tetap merebak..
Melintasnya foto serta video tentang Gaza di beranda medsos kita bukan sekedar kebetulan, Allah mengirimkan semua dokumentasi tersebut agar jadi perenungan.
Di Gaza, kalimat “orang beriman tak mudah berputus asa” benar-benar terpampang nyata dalam keseharian. Mereka mengamalkan isi Al Quran, diantara tanda keimanan mereka adalah sangat lekat dengan ayat; “Ishbiru wa shobiru wa rabithu, wattaquLlaha la’allakum tuflihun.. bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Ali Imran : 200). Sungguh mempraktikkan sabar sangat tidak mudah, apalagi ketika keadaan teramat sempit dan menyiksa, hingga kita sulit mengingat-ingat nikmat Rabb yang tersisa.
Penduduk Gaza tetap teguh, wajah mereka memancarkan keimanan, seakan beresonansi kepada penduduk bumi bahwa penderitaan ini tak akan lama, kesedihan yang mereka rasakan akan segera berlalu, kepayahan mereka di dunia akan Allah ganti dengan kebahagiaan yang abadi di akhirat sana.
Dunia tempat kita hidup memang tak selalu terasa nyaman, kadang terlalu berisik, banyak sekali hal yang terpaksa kita dengar dan rasakan, Kadang ujiannya terasa sangat sulit, hingga sebagian dari kita berputus asa atas pertolongan Allah yang sejatinya akan datang, kadang kita terlalu terburu-buru menyimpulkan, padahal Allah ingin kita belajar dengan ritme yang perlahan-lahan.
Sesungguhnya Allah mensetting kita untuk tidak menanggung beban yang berat secara terus-terusan, dan manusia perlu memiliki keterampilan untuk melepaskan beban-beban kehidupan, diantaranya dengan banyak mengingat Allah, banyak mengambil ibrah, dan mengimani bahwa semua takdir yang Allah berikan kepada kita adalah perkara yang Allah ingin kita terima, hingga Allah ridha kepada kita.
Kita yang seringnya kurang sabar, padahal kita tak memiliki kuasa atas apapun. Kita yang terbutakan oleh pedihnya rasa sakit, padahal tak ada penyakit yang tidak Allah sediakan obatnya. Tak ada luka yang sembuh sekedipan mata, maka dari itu Allah menyediakan waktu yang panjang untuk mengobati rasa nyeri dari luka yang menganga, sembari menggugurkan dosa-dosa kita. Allah mengizinkan waktu untuk tetap berjalan dan peristiwa lain berlalu lalang, agar kita terbiasa, dan perlahan dapat melupakan nyerinya, lalu menerima luka itu menjadi sebuah bagian berharga dari hidup kita, kemudian bersyukur telah berhasil melaluinya.
Dari Gaza, kita belajar.. kesyukuran masih bisa diupayakan, meskipun keadaan teramat memilukan.
Dari Gaza kita belajar.. bahwa Allah menguji seorang hamba sebagai tanda cinta dan kasih sayang.
Dari Gaza kita belajar.. tentang mengimani kefanaan dunia dan kebahagiaan akhirat yang selamanya.
Dibaca 209x